Jejak Sejarah Desa Les dan Penuktukan: Kisah yang Lahir dari Dendam dan Harapan
Pendahuluan
Kisah ini diangkat kembali sebagai wujud syukur ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa serta seluruh Ida Betara yang berstana di Desa Pakraman Les-Penuktukan. Terutama, tulisan ini terinspirasi oleh upacara besar Pemelaspas, Mendem Pedagingan, lan Ngenteg Linggih di Pura Puseh Panjingan yang diselenggarakan pada September 2010. Upacara tersebut menandai rampungnya pemugaran pelinggih Ida Betara yang menelan biaya hampir tiga miliar rupiah.
Kami berusaha merangkai kembali sejarah keberadaan Pura Puseh Panjingan yang erat kaitannya dengan asal-usul Desa Les dan Desa Penuktukan. Perlu diketahui, ada dua versi babad yang populer mengenai kisah ini:
- Versi yang pernah dimuat di harian Bali Post sekitar tahun 1976, ditulis oleh Wayan Simpen AB berdasarkan penuturan almarhum Jro Pasek Made Jawi.
- Versi yang ditulis oleh Ketut Ngemban di mingguan Singa Manggala sekitar tahun 1990-an, berdasarkan penuturan almarhum Jro Mangku Anyar Made Lunta.
Tulisan yang Anda baca ini mengacu pada versi kedua. Oleh karena itu, kami sangat menghargai dan terbuka terhadap adanya versi lain, tambahan, maupun koreksi yang membangun demi kesempurnaan cerita sejarah ini.
Alkisah: Terbentuknya Desa Les dan Penuktukan
Menurut penutur cerita, jauh sebelum abad ke-10, berdirilah sebuah desa pesisir bernama Panjingan. Letaknya kini berada di Dusun Panjingan, Desa Les, sekitar 35 km di timur Kota Singaraja. Nama “Panjingan” konon berasal dari kata manjing yang berarti “masuk”, menandakan bahwa desa ini dahulunya adalah sebuah bandar atau gerbang utama menuju Pulau Bali.
Desa Panjingan diyakini sezaman dengan Desa Kawista (di wilayah Kubutambahan sekarang) dan memiliki hubungan spiritual yang erat. Dikisahkan, Ida Betara Puseh Panjingan sering mekiis (melakukan perjalanan suci) ke Pura Kertta Negara di Penyusuhan. Bahkan, ada cerita bahwa putra dari Ida Betara Puseh Panjingan mempersunting salah satu putri Ida Betara di Penyusuhan.
Sebagai desa pelabuhan yang maju, Panjingan sering berinteraksi dengan kaum pendatang, termasuk para pengembara laut yang dikenal sebagai “wong Bajo”. Hubungan mereka begitu akrab hingga wong Bajo sering ikut serta dalam tradisi tabuh rah (sabung ayam) yang digelar saat upacara ngusaba di Pura Puseh Panjingan.
Ayam Aduan Pemicu Petaka
Suatu ketika, seorang wong Bajo yang gemar berjudi menginginkan seekor ayam aduan istimewa. Ayam idaman itu adalah jenis “Sa Ginangsi”—putih mulus dari bulu, paruh, hingga kaki, dengan hanya sehelai bulu sayap berwarna hitam. Ayam ini lebih dikenal dengan nama “Totos Panjingan”. Singkat cerita, ia berhasil membeli ayam tersebut dari salah seorang warga Desa Panjingan.
Saat upacara ngusaba tiba, wong Bajo itu dengan penuh percaya diri membawa ayam Sa Ginangsi-nya ke arena sabung ayam dan memasang taruhan besar. Namun nahas, ayam yang diandalkannya ternyata kalah telak. Kekecewaan berubah menjadi amarah. Setelah diselidiki, ia menyadari bahwa ayam yang dibelinya adalah palsu. Merasa telah ditipu mentah-mentah, wong Bajo itu pergi dengan membawa dendam kesumat.
Beberapa waktu kemudian, rombongan wong Bajo kembali ke Panjingan, berpura-pura baik seolah insiden sabung ayam telah dilupakan. Di balik keramahan palsu itu, mereka menyebar biji-biji kapuk di sekeliling desa tanpa ada seorang pun yang curiga.
Serangan dan Eksodus Warga Panjingan
Beberapa tahun berlalu. Pohon-pohon kapuk itu telah tumbuh besar dan tinggi. Pada suatu malam, wong Bajo melancarkan serangan mendadak yang membabi buta. Warga Desa Panjingan kalang kabut. Tanpa sempat melawan, mereka lari menyelamatkan diri bersama keluarga sambil membawa pejenengan (benda pusaka) dari Pura Puseh berupa keris, tombak, dan belakas (badik). Sementara itu, perkampungan dan Pura Puseh Panjingan dihancurkan hingga tak ada arca yang tersisa utuh.
Para pengungsi sampai di sebuah perbukitan dan mendirikan pemukiman baru yang dinamai Desa Bahu (artinya baru atau wawu). Lokasi ini kelak lebih dikenal sebagai Banjar Buhu.
Khawatir akan serangan susulan dari wong Bajo, para tetua memutuskan untuk memindahkan desa ke lokasi yang lebih strategis, yakni di seberang barat jurang Yeh Tah. Tempat ini merupakan benteng alami yang disebut “Supit Urang”, diapit oleh jurang Yeh Tah di timur dan jurang Yeh Mampeh di barat, serta dilindungi oleh bukit Batu Sangihan di utara.
Desa baru ini dinamai Desa Hyang Widhi, karena di sinilah para warga mulai kembali mendekatkan diri pada kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa. Sebagai tandanya, mereka membangun sebuah pelinggih bernama Sanggah Hyangudi. Lokasi bekas desa ini kini dikenal sebagai Dusun Hyangudi.
Lahirnya Desa Les dan Penuktukan
Seiring waktu, populasi di Desa Hyang Widhi bertambah, namun lahan pertanian sangat sempit dan sumber air berada jauh di bawah jurang. Para tetua akhirnya sepakat untuk memindahkan desa lagi ke dataran yang lebih rendah. Namun, trauma serangan masa lalu membuat mereka memilih lokasi yang tidak jauh dari bukit Batu Sangihan agar mudah melarikan diri jika bahaya datang.
Desa baru ini disebut Desa Ngenes, yang dalam aksara Bali (nga digantungi na kojong) dibaca Les. Versi lain menyebut nama LES memang berarti “bersembunyi” atau “melarikan diri”, sesuai dengan nasib para warganya. Pusaka keris, tombak, dan badik yang diselamatkan dibuatkan pelinggih di Sanggah Dalang dengan panyungsung utama warga asli Panjingan (Pasek Les), yang dianggap sebagai putra dari Ida Ratu Betara Puseh.
Suatu hari, warga Desa Les melihat ada pembabatan hutan di wilayah timur. Ternyata, sekelompok pendatang dari Bumbungan, Klungkung, sedang membuka lahan. Setelah berunding, para pendatang yang merupakan trah ksatria “Anak Agung” ini diizinkan menetap dengan beberapa syarat: mereka harus bersedia medesa pakraman dengan Desa Les dan nyineb wangsa (tidak menonjolkan kasta). Kesepakatan ini diterima dengan ikhlas.
Tempat pemukiman baru ini semakin ramai, termasuk oleh keluarga Pande yang datang berdagang alat pertanian. Lokasi ini kemudian disebut Desa Penuptupan, yang lambat laun berubah menjadi Desa Penuktukan.
Sejak saat itulah, Desa Les dan Penuktukan menjadi satu kesatuan Desa Pakraman, bersama-sama nyungsung Pura Kahyangan Tiga yang seluruhnya berlokasi di wilayah Desa Les.
Catatan dan Kesimpulan
Kisah di atas bukanlah sekadar dongeng. Beberapa fakta di lapangan mendukung kebenarannya:
- Lokasi Historis: Tempat-tempat yang disebut dalam cerita, seperti Dusun Panjingan, Dusun Buhu, Dusun Hyangudi, dan Bukit Batu Sangihan, masih ada hingga sekarang.
- Peninggalan Arkeologis: Hampir semua arca di Pura Puseh Panjingan dalam kondisi rusak. Menariknya, beberapa arca berbentuk Ganesa, menandakan pengaruh kuat sekte Hindu Siwa Sidanta pada masa itu.
- Status Cagar Budaya: Seorang peneliti dari Balai Arkeologi Bali menyatakan bahwa material arca berasal dari tanah dan batu lokal. Berdasarkan temuan ini, Pura Puseh Panjingan telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya Nasional.
- Hubungan Spiritual: Ikatan niskala antara Pura Puseh Panjingan dan Pura Pulo Kerta Negara di Kubutambahan adalah warisan spiritual yang patut digali lebih dalam.
Kisah ini adalah sebuah warisan tutur yang berharga. Tentu, sebagai cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, mungkin terdapat versi lain atau detail yang berbeda. Kami sangat terbuka terhadap masukan dan diskusi untuk melengkapi dan menyempurnakan rekaman sejarah ini.
Leave a Reply